Konon suatu ketika seseorang merasa lapar di malam hari, padahal warung-warung makan sudah tutup. Akhirnya ia pun membeli nasi goreng. Konon juga suatu ketika seseorang yang hidup sendiri merasa lapar. Padahal ia sedang malas untuk memasak. Akhirnya ia membuat nasi goreng.
Saya akan berfilsafat tentang nasi goreng.
Nasi goreng mungkin menjadi pilihan logis yang tersedia saat semua pilihan telah hilang. Namun, bukan berarti pula kamu harus memilih. Toh, bukankah tidak memilih juga sejatinya adalah pilihan? Rasa lapar di malam hari mungkin hanya sekadar metafora hasrat yang dangkal. Tapi bisa juga sebuah kebutuhan mendasar. Pilihan ada di setiap hal. Pilihan terhadap rasa lapar di malam hari adalah menurutkannya dengan mengambil pilihan logis yang praktis, atau mengurungkannya untuk berdiet, atau berhemat.
Nasi goreng adalah simbol kemudahan dan pilihan instan. Simbol syarat minimum untuk memenuhi tujuan. Membuat nasi goreng tidak butuh waktu lama. Juga tidak sulit. Bahkan yang dibutuhkan pun hanya sekadar nasi, minyak dan sedikit bumbu. Namun layaknya pilihan instan, ia tentunya beresiko. Rasa haus yang lama, atau lemak jahat. Atau kebiasaan buruk. Walaupun sebagai syarat minimum nasi goreng sudah bisa dipakai memenuhi tujuan, tapi ia masih bisa di-make over dengan berbagai macam isian. Suwiran ayam, daging, berbagai macam sayur, atau apalah. Yang tentunya akan sedikit menaikkan harganya. Tapi toh ia tetap saja nasi goreng. Ada yang menganggapnya dewa penolong, ada yang menganggapnya sampah kebudayaan, ada yang tidak ambil pusing memikirkannya.
Sekian filsafat nasi goreng.